Daftar Perguruan Tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (Season II)

—————————————————————————-

Universitas Negeri


*) PT-BHMN

—————————————————————————-

Universitas Swasta

  • Universitas Respati Yogyakarta, Yogyakarta
  • Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
  • Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta
  • Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Yogyakarta
  • Universitas Dirgantara Indonesia, Yogyakarta
  • Universitas Gunung Kidul, Wonosari
  • Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
  • Universitas Janabadra, Yogyakarta
  • Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
  • Universitas Kristen Immanuel, Yogyakarta
  • Universitas Mercu Buana, Yogyakarta
  • Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta
  • Universitas Pembangunan Nasional ‘VETERAN’ Yogyakarta, Yogyakarta
  • Universitas PGRI Yogyakarta, Yogyakarta
  • Universitas Proklamasi ’45, Yogyakarta
  • Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
  • Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
  • Universitas Teknologi Yogyakarta, Yogyakarta
  • Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta
  • Universitas Widya Mataram, Yogyakarta
  • Universitas  Veteran, Yogyakarta(UPN)

—————————————————————————-

Institut

 

  • IKIP PGRI Wates, Yogyakarta
  • Institut Pertanian Intan, Yogyakarta
  • Institut Pertanian Stiper, Sleman
  • Institut Sains & Teknologi AKPRIND, Yogyakarta

—————————————————————————-

Sekolah Tinggi

 

  • Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Profesi YKM, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi AAN, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Madani, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Respati, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Husada, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA Yogyakarta, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Psikologi Yogyakarta, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yayasan Lingkungan Hidup, Bantul
  • Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Teknologi Informasi Respati, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan STTKD, Bantul
  • Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Hamfara, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Isti Ekatana Upaweda, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mitra Indonesia, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nusa Megar Kencana, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata API, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi SBI, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Wiwaha, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKP, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Kartika Bangsa, Yogyakarta
  • STIKIP Catur Sakti, Bantul
  • Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Akakom, Yogyakarta
  • STMIK AMIKOM, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Pelita Nusantara, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Proactive, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer EL RAHMA, Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Multimedia MMTC, Yogyakarta

—————————————————————————-

Politeknik

 

  • Politeknik API, Yogyakarta
  • Politeknik Kesehatan Bhakti Setya Indonesia, Yogyakarta
  • Politeknik LPP, Yogyakarta
  • Politeknik Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta
  • Politeknik PPKP, Yogyakarta
  • Politeknik Seni Yogyakarta, Yogyakarta
  • Politeknik YDHI, Yogyakarta

—————————————————————————-

Akademi

 

  • Akademi Akuntansi Sapta Widya Tama, Yogyakarta
  • Akademi Akuntansi YKPN, Yogyakarta
  • Akademi Analis Farmasi Al Islam, Yogyakarta
  • Akademi Analisis Kesehatan Manggala Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Bahasa Asing Primagama, Yogyakarta
  • Akademi Bahasa Asing Yappindo, Yogyakarta
  • Akademi Bahasa Asing YIPK, Yogyakarta
  • Akademi Desain Visi Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Fisioterapi YAB Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Kebidanan Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Kebidanan Ummi Khasanah, Yogyakarta
  • Akademi Keperawatan Al Islam Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Keperawatan Bethesda YAKKUM, Yogyakarta
  • Akademi Keperawatan Karya Bakti Husada Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Keperawatan Wiyata Husada Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Keperawatan YKY Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Kesejahteraan Sosial AKK, Yogyakarta
  • Akademi Kesejahteraan Sosial Tarakanita, Sleman
  • Akademi Ketatalaksanaan Pelayaran Niaga Bahtera, Yogyakarta
  • Akademi Keuangan Dan Perbankan YIPK, Yogyakarta
  • Akademi Komunikasi Indonesia YPK, Yogyakarta
  • Akademi Komunikasi Radya Binatama, Yogyakarta
  • Akademi Komunikasi Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Manajemen Administrasi Dharmala, Yogyakarta
  • Akademi Manajemen Administrasi Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Manajemen Administrasi YPK Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta
  • Akademi Manajemen Putra Jaya, Yogyakarta
  • Akademi Maritim Ganesha Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Maritim Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Pariwisata Ambarukmo Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Pariwisata BSI Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Pariwisata Buana Wisata, Yogyakarta
  • Akademi Pariwisata Dharma Nusantara Sakti, Yogyakarta
  • Akademi Pariwisata Indraprasta, Yogyakarta
  • Akademi Pariwisata Stipary, Yogyakarta
  • Akademi Pariwisata Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Perikanan Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Pertanian Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Peternakan Brahma Putra, Yogyakarta
  • Akademi Sekretari dan Manajemen Desanta, Yogyakarta
  • Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia, Yogyakarta
  • Akademi Sekretari dan Manajemen Santa Maria, Yogyakarta
  • Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Kartika Yani, Yogyakarta
  • Akademi Seni Rupa dan Desain ADA Yogyakarta, Yogyakarta
  • Akademi Seni Rupa dan Desain Akseri, Yogyakarta
  • Akademi Seni Rupa dan Desain MSD, Yogyakarta
  • Akademi Teknik PIRI, Yogyakarta
  • Akademi Teknik YKPN, Yogyakarta
  • Akademi Teknologi Otomotif Nasional, Yogyakarta
  • Akademi Telekomunikasi Indonesia, Yogyakarta
  • AMIK Aster, Yogyakarta
  • AMIK BSI Yogyakarta, Yogyakarta
  • AMIK Kartika Yani, Yogyakarta
  • AMIK Wira Setya Mulya, Yogyakarta
  • AMIK Yappindo, Yogyakarta
  • ATMIK El Rahma, Yogyakarta

Orang Banjar dan Dayak di Kalimantan Selatan: Asal Usul dan Perhubungan Mereka*

Oleh : Dr.Mohamed Salleh Lamry**

Kalimantan Selatan Selayang Pandang

Provinsi Kalimantan Selatan kini ialah provinsi yang terkecil dari empat provinsi di Kalimantan. Bagaimanapun, tidak demikian pada masa yang lalu. Sehingga tahun 1957 Kalimantan Selatan ialah provinsi besar, yang merupakan gabungan dari Wilayah Kotawaringan, Dayak Besar, Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara. Kalimantan Selatan pada masa itu mengandungi provinsi yang kini dikenali sebagai Kalimantan Tengah.

Setelah orang Dayak di Kalimantan Tengah meminta provinsi mereka sendiri dengan melancarkan perang gerila dan mendapat sokongan dari Jakarta, mereka telah memperoleh provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Wilayah Kotawaringin dan Dayak Besar dikeluarkan dari Kalimantan Selatan untuk membentuk provinsi Kalimantan Tengah. Sementara itu, Pasir (bahagian Federasi Kalimantan Tenggara) juga telah keluar dari Kalimantan Selatan dan bergabung dengan Kalimantan Timur. Dengan itu, Kalimantan Selatan kini hanya terdiri daripada Daerah Banjar dan sebahagian dari daerah Federasi Kalimantan Tenggara.

Walaupun kini Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang terkecil, tetapi provinsi ini adalah provinsi yang paling padat penduduknya. Mengikut sensus penduduk tahun 2000 Kalimantan Selatan mempunyai penduduk 2,975,440 orang, sementara luas wilayah yang mereka diami hanya 37,660 km atau 14,000 batu persegi (Muller 1992).

Mengikut sensus 2000 juga, ada delapan etnik terbanyak di Kalimantan Selatan, iaitu Suku Banjar (2,271,586 orang), suku Jawa (391,030 orang), Suku Bugis (73,037 orang), Suku Madura (36,334 orang) Suku Bukit (35,838 orang), Suku Mandar (29,322 orang), Suku Bakumpai (20,609 orang), dan Suku Sunda (18, 519 orang). Suku lain, yang tidak dinyatakan namanya ialah 99,165 orang.

Dari data di atas, pada masa ini Suku Banjar ialah majoriti penduduk Kalimantan Selatan, sementara Suku Dayak (Bukit dan Bakumpai) kurang sepertiga dari jumlah Suku Banjar. Sebelum tahun 1957, ketika Kalimantan Tengah masih merupakan sebahagian daripada Kalimantan Selatan, jumlah Suku Dayak tentulah lebih banyak lagi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa di Kalimantan (termasuk Kalimantan Selatan) suku Dayak menghuni kawasan pedalaman, sementara daerah pantai atau daerah hilir yang mengitari kawasan itu di huni oleh suku Banjar, Jawa, Bugis dan suku lainnya (Masri Singarimbun 1996: 258).

Asal Usul Orang Banjar

Mengenai asal usul orang Banjar, pada masa ini sekurang-kurangnya ada dua pendekatan yang cuba menerangkan fenomena tersebut. Pertama, pendekatan primordialisme yang dikemukakan oleh Alfani Daud. Kedua, pendekatan konstruktifis atau situasionalis yang pada mulanya dikemukakan oleh Idwar Saleh (1986), kemudian dikembangkan oleh Marko Mahin (2004).

Mengikut Alfani Daud (1997; 2004: 85) suku bangsa Banjar ialah penduduk asli sebagian wilayah provinsi Kalimantan Selatan, yaitu selain kabupaten Kota Baru. Mereka itu diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali, dan setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran yang datang kemudian, akhirnya terbentuklah setidak-tidaknya tiga sub-suku, iaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu dan Banjar Kuala.

Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah sungai-sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus. Orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan oang Banjar Kuala mendiami daerah sekitar Banjarmasin dan Martapura.

Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu – sama halnya seperti ketika mereka berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya – yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata yang berasal dari kosa kata Dayak dan Jawa.

Nama Banjar diperoleh kerana mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau dianggap sebagai Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada masa mula-mula didirikan. Ketika ibukota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura, nama Banjar tersebut nampaknya sudah diterima umum dan tidak berubah lagi.

Dari segi agama, boleh dikatakan semua orang Banjar memeluk agama Islam. Dan mereka pada umumnya ialah orang yang taat menjalankan perintah agamanya.

Mengikut Idwar Saleh (1986: 12) pula, sebelum dan pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, baik etnik Banjar maupun etnik Dayak sama sekali tidak disebut. Hal itu bererti, Banjar, pada waktu itu belum menjadi identiti suku atau agama, dan hanya sebagai identiti diri yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Dengan itu, Idwar Saleh menyimpulkan:

Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maayan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maayan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton….Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, kerana kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok besar iaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan kelompok Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang Sungai Tabalong dari muaranya di Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan- etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan- etnik Maayan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan- etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, iaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Idwar Saleh (1991):

Ketika Pangeran Samudra mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti Patih Balandean, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru iaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis, tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.

Maka, berdasarkan pendapat Idwar Saleh (1991) dapat diambil kesimpulan, bahawa suku Banjar terbahagi kepada 3 subetnis berdasarkan wilayah tempat tinggal mereka dan unsur pembentuk suku itu, yang menggambarkan masuknya penduduk pendatang ke wilayah penduduk asli Dayak:

1. Banjar Pahuluan ialah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok).
2. Banjar Batang Banyu ialah campuran Melayu, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai cirri kelompok)
3. Banjar Kuala ialah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok).

Adalah diakui pendapat yang dikemukakan oleh Alfani Daud dan Idwar Saleh masing-masingnya mempunyai kekuatan yang tersendiri. Namun, tulisan-tulisan terakhir tentang asal usul orang Banjar saya dapati lebih banyak yang memihak kepada pendapat Idwar Saleh. Misalnya, tim penelitian dari Departmen Pendidikan dan Kebudayaan (1977-78: 17) merumuskan bahawa Suku Banjar yang terdiri dari Banjar Kuala, Banjar Batang Banyu dan Banjar Hulu adalah bentukan dari Suku Dayak Maayan, Dayak Lawangan, Dayak Bukit Meratus dan Dayak Ngaju. Melalui proses pembauran yang memakan waktu berabad-abad, kelompok Dayak yang menggunakan bahasa Banjar, beragama Islam dan bercampur dengan suku Melayu dan Jawa lambat laun dalam kerajaan Banjar menjadi Suku Banjar, sementara yang tidak memeluk Islam dan tidak berbahasa Banjar, tetap menyebut diri mereka sebagai Dayak.

Asal Usul Orang Dayak

Dayak Bukit (Pegunungan Meratus)Ada pelbagai pendapat tentang asal-usul orang Dayak, tetapi setakat ini belum ada yang betul-betul memuaskan. Namun, pendapat yang diterima umum menyatakan bahawa orang Dayak ialah salah satu kelompok asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan (Tjilik Riwut 1993: 231). Gagasan tentang penduduk asli ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu adalah dipercayai bahawa nenek moyang orang Dayak berasal dari China Selatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mikhail Coomans (1987: 3):

“…semua suku bangsa Daya termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Daya merupakan keturunan daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo China ke jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia, selain itu, mungkin ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, kerana pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu.”

Adalah dipercayai bahawa penduduk Yunnan pada masa itu melakukan perpindahan untuk mencari tempat yang dianggap paling dapat memberikan kebebasan bergerak utnuk mencari nafkah, khususnya untuk berladang dan berburu. Rupanya perpindahan itu tidak hanya sekali terjadi, tetapi berlangsung secara bertahap, seperti dikatakan Coomans (1987:3):

Kelompok-kelompok pertama yang masuk wilayah Kalimantan ialah kelompok Negrid dan Weeddid, yang sekarang sudah tidak ada lagi. Kemudian disusul oleh kelompok yang lebih besar, yang disebut Proto Melayu. Perpindahan ini berlangsung lagi selama 1000 tahun, antara 3000-1500 sebelum Masehi.

Lebih lanjut disebutkan bahawa, “Sekitar lima ratus tahun sebelum Masehi berlangsung lagi suatu perpindahan besar dari daratan Asia ke pulau-pulau Indonesia. Kelompok-kelompok ini disebut Deutro-Melayu” (Coomans 1987: 4).

Mengikut Tjilik Riwut (1993: 231) Orang Proto Melayu (Melayu Tua) pada mulanya mendiami kawasan pantai. Akan tetapi, dengan kedatangan orang Melayu Muda, orang Melayu Proto terdesak ke pedalaman, sama ada kerana kalah perang atau kerana kebudayaan Melayu Tua lebih rendah jika dibandingkan dengan Melayu Muda. Kelompok Melayu Muda khasnya, sudah hidup menetap dalam satu komuniti, (seperti rumah panjang), dan mengenal teknik pertanian lahan kering, iaitu berladang.

Seorang penulis lain, Ch.F.H.Dumont (dipetik dari Tjilik Riwut 1993: 191) merujuk khusus kepada perpindahan orang Dayak ke pedalaman, seperti berikut:

Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baikpun pantai-pantai baikpun sebelah ke darat. Akan tetapi tatkala orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang ke situ terdesaklah orang Dayak itu lalu mundur, bertambah lama, bertambah jauh ke sebelah darat pulau Kalimantan.

Teori tentang migrasi ini sekaligus boleh menjawab persoalan: mengapa suku bangsa Dayak kini mempunyai begitu banyak sifat yang berbeza, sama ada dalam bahasa mahu pun dalam ciri-ciri budaya mereka.

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, iaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun ini terbagi lagi kepada lebih kurang 405 sub suku. Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan seni tari.
Perhubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Lalu

Sejak munculnya kerajaan Islam Banjar pada tahun 1526, hubungan antara orang Banjar dengan orang Dayak mungkin tidaklah begitu berbeza dengan hubungan kerajaan Islam yang lain dengan orang Dayak di Kalimantan pada keseluruhannya. Meminjam kata-kata seorang ahli antropologi kolonial van Linden (Djuweng 1996: 3 dalam Yeti Maunati 2004:311) nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Selama berabad-abad, orang Dayak sudah menjadi bawahan politik kepada kekuasaan lokal, nasional dan kolonial.

Secara lebih khusus, hubungan antara Kesultanan Banjar dengan orang Dayak mungkin ada persamaannya dengan hubungan antara Kesultanan Kutai dengan orang Dayak di Kalimantan Timur. Mengikut Magenda 1991: 2) sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai meliputi orang Dayak di pedalaman, malah pada akhir abad ke-15, kesultanan itu sesungguhnya sudah menjadi persekutuan yang longgar yang terdiri daripada komuniti Dayak dengan seorang raja Melayu dipuncak kekuasaannya. Namun, Kesultanan Kutai yang baru pada awal abad ke-16 adalah kesultanan Melayu par excellence, serupa dengan kesultanan Melayu lainnya didaerah Pesisir Sumatra dan Kalimantan.

Baik Magenda (1991) mahupun Rousseau (1990) menyatakan bahawa orang Kutai berusaha menguasai orang Dayak, tetapi mereka tidak dapat melakukan sepenuhnya kerana orang Dayak boleh berpindah lebih jauh ke pedalaman. Keadaan demikian diperkirakan berlaku juga di Kalimantan Selatan dalam perhubugan antara orang Banjar dengan orang Dayak

Malah, di Kalimantan Selatan pernah berlaku pemberontakan oleh suku Dayak terhadap Sultan Banjamasin, Sultan Sulaiman pada tahun 1824-1825. Pemberontakan itu dilakukan oleh orang Dayak Bakumpai, di bawah pimpinan Pembakal (Kepala) Kendet, ketua mereka. Walaupun isterinya adalah keluarga Sultan, tetapi sejak 1816 lagi hubungannya dengan Sultan tidak begitu baik. Sultan tidak berupaya menundukkannya, dan ia hanya dapat dikalahkan dengan bantuan Belanda pada tahun 1825. Ia dijatuhkan hukuman mati pada 7 Maret di tahun tersebut (Helius Sjamsudddin 2001: 50).

Walau bagaimanapun, dalam sejarah Kalimantan Selatan hubungan antara orang Banjar dengan orang Dayak juga dicirikan oleh hubungan persaudaraan dan ikatan kekeluargaan, kerana adanya perkahwinan yang kerap antara Raja Banjar dengan puteri Dayak. Misalnya, dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju diketahui bahawa isteri Raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawang adalah etnik Dayak Ngaju. Isteri kedua Raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan suku Dayak. Maayan, berasal dari etnik mereka. Dalam Hikayat Banjar pula ada disebut bahawa salah seorang isteri Raja Banjar ketiga, Sultan Hidayatullah juga puteri Dayak, iaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju. Dari rahim puteri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik takhta dengan gelaran Sultan Mustainbillah. Puteri Dayak berikutnya ialah isteri Raja Banjar kelima, Sultan Inayatullah, yang melahirkan Raja Banjar ketujuh, Sultan Agung. Dan Sultan Tamjidillah (putera Sultan Abdulrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang puteri Dayak berdarah campuran Cina, iaitu Nyai Dawang.

Sementara itu, dari perkawinan Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah, saudara perempuan Tumenggung Surapati kepala suku Dayak Siang Murung, lahir Sultan Muhamad Seman, yang kemudian meneruskan perjuangan ayahnya menentang Belanda, sehingga gugur oleh peluru Belada pada tahun 1905. Dalam masa perjuangan itu, Muhammad Seman telah mengahwini dua puteri Dayak dari suku Dayak Ot.Danum. Anak Sultan Muhamad Seman, Gusti Berakit juga mengahwini puteri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong pada tahun 1906.

Hubungan persahabatan yang erat antara orang Banjar dengan Dayak jelas kelihatan apabila kedua-dua suku itu berjuang bersama-sama melawan Belanda dalam Perang Banjar (1858-1905). Meskipun ketika berlakunya peperangan itu tidak dinafikan ada ketua suku Dayak yang berpihak di sebelah Belanda, tetapi penyertaan dan sokongan suku Dayak dalam Perang Banjar itu nampaknya sangat terserlah. Dalam peperangan yang memakan masa yang agak panjang itu, ramai pahlawan perang itu terdiri daripada etnik Dayak, antaranya yang paling menonjol ialah Tumenggung Surapati, Panglima Batur (dari suku Dayak Siang Murung), panglima Unggis, Panglima Sogo, Panglima Batu Balot (seorang wanita), dan panglima Wangkang (dari suku Dayak Bakumpai).

Pada zaman kolonial Belanda pula, hubungan persaudaraan dan ikatan keluargaan antara orang Banjar dengan orang Dayak masih berterusan. Namun, berbanding dengan orang Dayak, lebih banyak orang Banjar yang berpeluang memasuki birokrasi kolonial, sekurang-kurangnya sebagai pegawai rendah. Dengan itu, orang Dayak terus menjadi subordinat kepada orang Banjar yang menjadi pegawai kerajaan kolonial itu seperti pada zaman Kesultanan juga.

Hubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Kini

Walaupun orang Banjar dan orang Dayak berasal dari masa silam yang sama, tetapi kini masa silam yang sama itu mungkin tidak penting lagi. Yang lebih menonjol kini ialah identitas yang baru – orang Banjar dan orang Dayak adalah dua kumpulan etnik yang berbeda Dan atas identiti baru itu, dua suku yang bertetangga – Banjar dan Dayak — telah terlibat dengan persaingan dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan itu, Hairus Salim (1996: 227) menganggap bahawa hubungan orang Banjar dengan orang Dayak kini ialah hubungan yang “tak selalu mesra”.

Hubungan orang Banjar dengan orang Dayak yang tidak selalu mesra itu telah diungkapkan oleh Anna Lowenhaupt Tsing (1993), seorang ahli antropologi dari Universiti California, dalam kajiannya tentang Dayak Meratus atau Dayak Bukit, yang banyak bermukim di sekitar pergunungan Meratus di Kalimantan Selatan.

Walaupun “hubungan kultural” antara orang Banjar dan Dayak telah “terputus” apabila “Banjar” ditegaskan sebagai identiti mereka yang beragama Islam, dan orang Dayak pula ialah orang yang “bukan Islam”, tetapi menurut Tsing (1993) hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan antara kedua-dua suku tetap berlangsung terus. Hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan itu pada masa kebelakangan ini diatur oleh “pentadbiran negara”.

Dari segi ekonomi, orang Banjar sebenarnya terlibat dengan hubungan perdagangan yang intensif dengan suku Dayak Meratus, malah merekalah yang menjadi perantara bagi perkembangan ekonomi wilayah (Hairus Salim 1996: 230). Orang Banjar mendominasi pasar minggu kecil dihujung jalur yang menuju pegunungan Meratus. Keperluan-keperluan suku Dayak seperti pakaian, garam, perkakas logam dan barang-barang mewah lainnya disalurkan oleh orang Banjar. Sementara itu dengan berjalan kaki atau naik rakit, orang Dayak Meratus datang ke pasar tersebut untuk menjual rotan, getah, kacang, kayu ulin, kayu kemenyan dan hasil-hasil hutan yang lain kepada orang Banjar, yang kemudian menjualnya juga ke bandar.

Walau bagaimanapun, hubungan perdagangan antara orang Banjar dengan orang Dayak itu berlangsung dalam keadaan yang sangat tidak seimbang. Sebagai perantara, orang-orang suku Banjar mempunyai kedudukan tawar menawar yang lebih tinggi. Mereka boleh menetapkan harga mengikut kemahuan mereka, yang menyebabkan suku Dayak Meratus selalu merasa dirugikan. Akan tetapi, orang Dayak tidak dapat berbuat apa-apa, kerana mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Selain itu, orang-orang Dayak Meratus juga tidak berpuas hati kerana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kredit daripada pedagang Banjar; jauh dari pemilik sarana pengangkutan, truk atau motorboat, gudang, dan tempat pengeringan getah, yang semuanya dimiliki oleh orang Banjar; tidak mempunyai jaringan untuk mendapatkan modal, kemudahan-kemudahan penyimpanan, dan tempat tinggal di bandar Banjarmasin; akses yang sangat terbatas untuk mengetahui keadaan pemasaran dan seterusnya (Tsing 1993: 55-56).

Perhubungan perdagangan yang tidak seimbang itu, diperkuatkan pula oleh hubungan orang Banjar yang rapat dengan “negara”. Orang Banjar adalah penguasa politik pada peringkat wilayah. Bahkan kepentingan negara di kalangan suku Dayak diartikulasikan oleh kepentingan-kepentingan suku Banjar. Di daerah Meratus, ‘’kepentingan negara” menjelma menjadi kepentingan orang Banjar. Ini ialah kerana pegawai-pegawai pemerintah pada peringkat kabupaten dan kecamatan, dan pegawai tentera, pertanian dan kesihatan yang melakukan hubungan dengan orang Dayak ialah orang-orang suku Banjar. Dengan itu, negara dan kepentingan nasional tampil di kalangan Dayak Meratus dengan wajah Banjar.

Wajah “negara” dalam artikulasi kepentingan suku Banjar itu diperlihatkan Tsing (1991) misalnya dalam dasar negara mengenai pembangunan masyarakat terasing pada tahun 1970-an. Dalam pentadbiran dasar itu, pada tahun 1971 suku Dayak Meratus dimasukkan sebagai salah satu dari masyarakat terasing. Maka pegawai pemerintah yang kebanyakannya terdiri daripada orang Banjar telah membuka hutan untuk menjadi tempat tinggal baru bagi orang Dayak Meratus. Bagaimanapun, dengan pembukaan hutan itu, orang Banjar juga mendapat kesempatan untuk berpindah ke kawasan baru tersebut, dengan jaminan mendapat perkhidmatan dan tanah. (Tsing 1991: 45). Sebagai akibatnya, tidak lama selepas itu, pemukiman baru itu telah didominasi oleh orang Banjar, kerana penguasaan mereka terhadap jalur perdagangan dan politik wilayah. Sementara itu, orang Dayak Meratus sendiri terus tersingkir, bahkan kemudian banyak yang pulang ke tempat mereka yang asal.

Tidak dinafikan masyarakat Dayak Meratus berpeluang mengenal kemajuan melalui pelbagai dasar negara yang diartikulasikan oleh pegawai pemerintah dari suku Banjar. Mereka mempelajari ekonomi global daripada pedagang Banjar. Orang Meratus juga mengenali birokasi negara di tingkat wilayah melalui orang Banjar. Akan tetapi, hubungan itu tetap bersifat artifisial, kerana dalam banyak hal justru membuat orang Dayak semakin jatuh dan jauh terpinggir dari yang mereka alami sejak zaman pra-kolonial dan kolonial (Hairus Salim 1996: 231).

Perhubungan orang Banjar dengan orang Dayak masa kini memasuki tahap yang baru, apabila mulai tahun 2000, suku Dayak Meratus terlibat dengan konflik yang agak serius dengan golongan penguasa Kalsel yang terdiri daripada orang Banjar. Hal ini berkaitan dengan dasar dan tindakan Sjachriel Darham, Gubernor Kalsel masa itu yang nampaknya tidak mengambil kira kepentingan orang Dayak. Sjachriel Darham telah membenarkan sebahagian Hutan Lindung Pegunungan Meratus, tempat tinggal orang Dayak, seluas 46,270 hektar, diberikan kepada perusahaan perkebunan berskala besar, PT Kodeco Group, yang berasal dari Korea Selatan.

Sebagaimana yang diketahui suku Dayak Meratus telah mendiami kawasan pegunungan Meratus itu sejak turun temurun. Hutan itu merupakan sumber kehidupan mereka, kerana memang di situlah tempat tinggal mereka sejak lama. Oleh itu, sudah tentu suku Dayak Meratus tidak menyetujui Hak Pengusahaan Hutan (HPT) kawasan hutan itu diserahkan kepada pengusaha besar. Apatah lagi pemberian konsesi kepada perusahaan dari Korea itu akan melibatkan alih fungsi sebahagian kawasan pergunungan Meratus dari hutan lindung kepada hutan produksi.

Oleh itu, mendengar kawasan hutan lindung itu akan dijadikan kawasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) Kodeco, ratusan warga masyarakat Dayak Meratus berkali-kali turun ke Banjarmasin untuk mengadakan tunjuk perasaan, sama ada kepada DPRP mahupun kepada Gabenor sendiri. Sejak tahun 1998 hingga awal 2000 dikatakan lebih 20 kali warga pedalaman itu mengadakan tunjuk perasaan ke Banjarmasin dengan tuntutan yang sama: menolak kawasan Meratus dijadikan kawasan HPH. Namun, tuntutan mereka tidak pernah diberi perhatian yang sewajarnya. (Kompas,1 Ogos 2001).

Tuntutan warga Dayak Meratus itu akhirnya didengar oleh beberapa LSM. Mereka memberi sokongan dengan membentuk Aliansi Meratus yang merupakan gabungan 33 LSM. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalsel (LMMD-KS) dan LSM Telapak Indonesia yang beribu pejabat di Bogor juga memberi sokongan moral kepada warga Dayak Meratus dengan mengecam Pemda Kalsel.

Para aktivis itu jugalah yang meneruskan tuntutan warga Dayak Meratus, sama ada kepada Gabenor Sjachriel mahupun kepada DPRD tempatan. Namun, pihak Pemda bertindak balas untuk melumpuhkan gerakan itu dengan mengadukan Koordinator Aliansi Meratus, Hairansyah kepada pihak polis dengan tuduhan menghasut rakyat untuk mengadakan tunjuk perasaan.

Ketika isu yang berkaitan dengan pemberian sebahagian hutan lindung Pegunungan Meratus kepada perusahaan besar itu belum lagi selesai, timbul pula isu lain yang melibatkan kawasan yang sama, iaitu pemberian hak melombong kepada pengusaha perlombongan emas, PT Meratus Sumber Mas oleh pemerintah daerah. Tindakan pemerintah daerah ini mendapat tentangan daripada kira-kira 750 orang perwakilan dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan, yang mengadakan kongres selama empat hari, berakhir pada 26 Jun 2003 di Samarinda (Kompas 1 Julai 2003). Namun, penentangan warga Dayak Meratus itu nampaknya tidaklah mendapat perhatian yang sepatutnya daripada pemerintah daerah yang dikuasai oleh orang Banjar.

Oleh yang demikian, sebuah LSM terkenal yang prihatin tentang masalah alam sekitar, yaitu WALHI, dalam beritanya pada 2 Juni 2006 menyatakan:

“…Hutan Lindung Meratus, kawasan hutan asli yang masih tersisa di Propinsi Kalimatan Selatan, “rumah terakhir” masyararakat Dayak Meratus saat ini menjadi kawasan yang paling terancam. Saat ini pemerintah dan pengusaha tambang serta perkebunan skala besar melakukan berbagai cara, termasuk memecah masyarakat Dayak Meratus melalui perubahan tapal batas antar kabupaten, sayangnya kebutuhan masyarakat bertolak belakang dengan keinginan pemerintah daerah (Walhi 2006).”

Apabila disebut pemerintah daerah tentulah merujuk kepada orang Banjar, kerana orang Banjarlah yang merupakan penguasa pada peringkat tersebut. Ini bermakna konflik antara orang Dayak dengan orang Banjar masih berterusan.

Kesimpulan

Meskipun orang Banjar berasal dari orang Dayak, ataupun dari percampuran orang Dayak dengan pelbagai suku yang lain, tetapi setelah orang Banjar memeluk agama Islam dan menubuhkan kerajaan Islam Banjar, “perpisahan” antara kedua suku itu nampaknya sudah merupakan sesuatu yang berkekalan. Mungkin sejak zaman dahulu lagi, orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam memilih tinggal di kampung yang berasingan dari kampung orang Banjar; di tempat yang umumnya terletak di pedalaman.

Kemunculan kerajaan Islam Banjar pada abad ke-16, nampaknya menandakan bermulaanya kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar, kerana orang Banjar adalah kelas pemerintah yang wilayah pemerintahannya meliputi juga kawasan yang didiami oleh orang Dayak. Kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar ini boleh dikatakan tidak berubah pada zaman penjajahan dan lebih jelas lagi pada zaman selepas kemerdekaan, kerana pada zaman selepas kemerdekaan memang orang Banjarlah yang menduduki jawatan penting dalam pemerintahan daerah, di samping mereka juga yang menguasai perdagangan yang melibatkan orang Dayak.

Jika kita lihat hubungan orang Banjar dengan orang Dayak pada masa mutakhir, hubungan mereka nampaknya bukan sahaja tidak mesra, malah sudah melibatkan konflik yang agak serius. Hubungan tidak mesra itu sudah kelihatan sejak lama, melibatkan golongan pedagang Banjar dan penguasa Banjar, yang jelas lebih berkuasa ke atas orang Dayak Kini timbul pula isu baru yang menimbulkan konflik, iaitu tindakan pemerintah daerah yang diketuai oleh Gabenor dari etnik Banjar yang memberikan kawasan hutan tempat tinggal orang Dayak Meratus kepada pengusaha perkebunan dan perlombongan besar.

Tidaklah dinafikan pemberian kawasan hutan untuk diusahakan oleh pengusaha besar itu ada juga faedahnya kepada orang Dayak, misalnya dari segi wujudnya peluang pekerjaan, dan mungkin terbinanya jalan yang akan menghubungkan kawasan tempat tinggal orang Dayak dengan kawasan bandar. Namun, sebagaimana yang terbukti dari kajian di tempat lain, (lihat Syarif Ibrahim Alqadrie 1994, 244-260; Patingi Y.A.Aris 1994, 261-66), kesan negatif dari aktiviti pembukaan kawasan hutan dan perlombongan itu kepada kehidupan penduduk setempat jauh lebih banyak dari kesan positifnya. Itulah sebabnya orang Dayak tidak menyetujui kawasan hutan tempat tinggal mereka diberikan kepada pengusaha besar.

Walau bagaimanapun, kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar nampaknya tidak memungkinkan mereka menentang dasar pembangunan penguasa Banjar yang merugikan mereka, dan dengan itu sangatlah sukar mereka keluar dari kehidupan mereka yang mundur dan terpinggir. Barangkali orang Dayak hanya mungkin keluar dari keadaan mundur dan terpinggir itu, setelah melalui satu masa yang agak lama, khasnya setelah mereka mencapai taraf pendidikan yang memadai dan dengan itu dapat menduduki jawatan penting dalam pemerintah daerah, sama ada dalam bidang birokrasi mahupun politik. Memang sebagaimana yang sering berlaku, orang Dayak hanya mungkin bermobiliti ke atas, walaupun agaknya secara beransur-ansur, melalui jalan pendidikan.

—————-
* Kertas kerja untuk Konferensi Antaruniversiti Se Borneo-Kalimantan Ke-3, Banjarmasin,
15-17 Jun 2007.
** Mantan Prof.Madya dan Sarjana Tamu, Program Antropologi dan Sosiologi, Universiti
Kebangsaan Malaysia

Rujukan:
Agama dan Etnisitas: Kajian Tentang Asal Usul Pembentukan Etnis Banjar.
Kandil. Edisi 6, Tahun 11, Agustus-Oktober
Alfani Daud. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Press.
Alfani Daud. 2004. Islam dan Asal-Usul Masyarakat Banjar. Kandil.
Edisi 6, Tahun 11, Agustus-Oktober.
Coomans, M. 1987.Manusia Daya, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. Jakarta: PT
Gramedia.
Hairus Salim HS. 1996. Islam Banjar, Relasi Antar Etnik, dan Pembangunan. Dalam
Kisah dari Kampung Halaman . Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei
Hudson, A.D. & Judith M.Hudson. 1984. Telang: Sebuah Desa Ma’ayan di
Kalimantan Tengah. Dalam Koentjaraningrat (pnyt.) Masyarakat Desa di
Indonesia Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hudson, A.B. 1972. Padju Epat: The Ma’anyan of Indonesian Borneo. New York:
Holt, Rinehart and Winston.
King.V.T. 1994. The Ethnic Groups of Borneo. Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed &
Co.
King.V.T. 1985. Kedudukan Sosial dan Perubahan Sosial di Kalangan Suku Maloh,
Kalimantan Barat. Dalam Dove, M.R (pnyt.) Peranan Kebudayaan Tradisional
dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kompas. 2001. Meratus Nasibmu Kini… Kompas, 1 Ogos,
.http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/01/daerah/mera26.htm
Kompas. 2001. Masyarakat Dayak Meratus Diobok-obok. Kompas, 1 Ogos.
http://www/. kompas.com/kompas-cetak/01

08/01/daerah/masy26.htm
Kompas 2001. Hutan Lindung Meratus Bakal Tamat. Kompas, 1 Ogos.
http://www/. kompas.com/kompas-cetak/0108/01/daerah/huta25.htm
Kompas.2001. Dayak Meratus Tolak Pembukaan Hutan. Kompas, 15 Disember.
http://www.kompas.com/kompak-cetak/0112/15/iptek/daya10.htm.
Marko Mahin. 2004. Urang Banjar: Identitas dan Etnisitas di Kalimantan Selatan.
Kandil. Edisi 6, Tahun 11, Agustus-Oktober.
Masri Singarimbun. 1996. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Miles, D. 1976. Cutlass and Crescent Moon: A Case Study of Social dan Political
Change in Outer Indonesia. Sydney: Centre for Asian Studies University of
Sydney.
Mubyarto dkk. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan di Kalimantan
Timur. Yogyakarta: Aditya Media.
Muller, K. 1992. Dalam D.Pickell (editor) Indonesian Borneo Kalimantan.
Singapore: Periplus Editions.
Patingi Y.A.Aris. Pengaruh HPH Terhadap Sumber Daya Alam dan Kehidupan
Masyarakat di Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang. Dalam Paulus
Florus dkk. (pnyt.) Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta:
PT. Grasindo.
Sellato, B. 2002. Innermost Borneo: Studies in Dayak Cultures. Paris: Seven Orients,
& Singapore: Singapore University Press.
Stepanus Djuweng. 1996. Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi. Dalam
Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei
Syarif Ibrahim Alqadrie. 1994. Dampak Perusahaan Pemegang HPH dan
Perkebunan Terhadap Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Penduduk
Setempat di Daerah Pedalaman Kalimantan Barat. Dalam Paulus Florus dkk
(pnyt.) Kebudayaan Dayak. Jakarta: Penerbit PT.Grasindo.
Tjilik Riwut.1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana.
Tsing, A.L. 1998. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada
Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Walhi.2006.http://walhi.or.id/kampanye/hutan/shk/060602_dykmeratus_sp/?&printer_friendly=t%E2%80%A6
Yekti Maunati. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.
Yogyakarta: LKiS

Nglanggeran, Gunung Api Purba yang Memesona.

Gunung Nglanggeran adalah sebuah gunung api purba berumur sekitar 60 juta tahun yang terletak di kawasan Baturagung, bagian utara Kabupaten Gunung Kidul pada ketinggian sekitar 200-700 mdpl.

Teletak di desa Nglanggeran Kecamatan Patuk, tempat wisata ini dapat ditempuh sekitar 15 menit atau sekitar 22 km dari kota Wonosari.

Kawasan ini konon merupakan kawasan yang litologinya disusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya memiliki keindahan yang secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Berdasarkan hasil sejumlah penelitian dan referensi, gunung Nglanggeran adalah gunung berapi purba, yang keberadaanya jauh sebelum terbentuknya Gunung Merapi di Kabupaten Sleman.

Mendaki Gunung Nglanggeran, Anda akan menjumpai sebauh bangunan Joglo (Pendopo Joglo Kalisong) di pintu masuk, dan akan ada tiga bangunan gardu pandang sederhana dari ketinggian yang rendah, sedang sampai puncak gunung.

Dari atas gunung, pemandangan terhampar luas bak permadani hijau. Kala kita memandang ke bawah, kita bisa melihat ladang, kebun, dan bangunan tower dan berbagai stasiun televisi yang jumlahnya cukup banyak, manambah keindahan alam.

Nama Nglanggeran konon berasal dari kata planggaran yang bermakna setiap perilaku jahat pasti ketahuan. Ada pula yang menuturkan, nama bukit berketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini dengan kata langgeng artinya desa yang aman dan tentram.

Selain sebutan tersebut, gunung yang tersusun dari banyak bebatuan ini dikenal dengan nama Gunung Wayang karena terdapat gunung/bebatuan yang menyerupai tokoh pewayangan. Menurut kepercayaan adat jawa Gunung Nglanggeran dijaga oleh Kyi Ongko Wijaya dan Punakawan. Punakawan dalam tokoh pewayangan tersebut, yakni Semar, Gareng, Petruk, serta Bagong.

Kepercayaan lain menyebutkan bahwa Gunung Nglanggeran sebagai Gunung Wahyu karena gunung tersebut diyakini sebagai sarana meditasi memperoleh wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa. Air dari gunung Nglanggeran sering diambil abdi dalem dari Kraton Yogyakarta sebagai sarana mohon ketentraman dan keselamatan semua masyarakat DIY. Tak heran, sebagian orang masih mengeramatkan gunung tersebut. Pada malam tahun baru Jawa atau Jumat Kliwon, beberapa orang memilih semedi di puncak gunung ini.

Sumber : gudeg.net

re-publish : admin.

Perayaan Ultah Sultan HB X Kental Tradisi

Perayaan ulang tahun atau tingalan dalem Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X yang memasuki usia ke-66 menurut kalender Jawa atau usia ke-64 menurut tahun masehi, Sabtu (17/4/2010) malam di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta berlangsung meriah dan kental nilai budaya.

Tari Bedaya Harjunawijaya yang merupakan kreasi Sultan menjadi suguhan utama dalam peringatan tingalan dalem. Bedaya tidak sekadar tari, tetapi menjadi wahana penyampaian pesan Sultan sebagai Raja Yogyakarta.

Koreografi istana yang ditarikan sembilan penari wanita ini berangkat dari ide Sultan tentang tokoh Harjuna sebagai ksatria sejati yang merupakan simbol kesempurnaan hidup manusia. “Dalam menjalankan kehidupannya, Harjuna selalu bermuara dalam bakti kepada rakyat, bangsa, dan negara,” ujar Sultan melalui tari bedaya.

Sebelumnya, Sultan menciptakan Bedhaya Amurwabumi yang dipentaskan saat malam penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Sultan HB IX.

Peringatan tingalan dalem Sultan kental dengan tradisi Jawa. Sultan mengenakan batik merah muda dan duduk di bangsal kencana dengan diapit KGPAA Paku Alam IX dan GKR Hemas. Dalam kesempatan tersebut, Seniman Srihadi, Sardono W Kusumo, dan Minto Widodo menyerahkan lukisan diri Sultan yang dibuat dalam kurun dua tahun dengan gaya realis ekspresif.

Puncak acara perayaan ulang tahun tersebut adalah pada gelaran tari bedaya yang antara lain ditarikan oleh dua puteri Sultan, GKR Pembayun dan GKR Condrokirono. Bedaya Harjunawijaya ditarikan selama lebih kurang 50 menit.

Seperti halnya Harjuna, menurut Sultan, manusia sempurna memiliki kewajiban menyejahterakan dunia dengan memiliki ketajaman rasa, menjaga keselamatan negara, dan mengupayakan keselamatan manusia melalui kemanusiaannya sendiri.

Sumber : kompas.com

re-publish : admin.

Demang Lehman, Sang Panglima Perang Pangeran Hidayatullah (Perang Banjar)

Demang Lehman

Foto Demang Lehman panglima perang Pangeran Hidayatullah.
(Kepala beliau dibawa ke Belanda dan sampai sekarang masih di musium Belanda)

Beliau disergap di Batulicin ketika sedang sembahyang dan kemudian digantung di alun-alun Martapura pada tanggal 27 Februari 1863 / 8 Ramadhan 1279 H. Ucapan beliau terakhir :
” BANJAR A…KAN BEBAS JIKA DIPALAS DENGAN DARAH”

Menurut sdr Yanuar Ikbar* ada 3 Kepala Urang Banjar di Belanda
(mungkin berada di musium perang” Troopen Muzium di Amsterdam”) :
1. Syahidin Demang Leman
2. Syahidin Prabu Anom Dinding Raja ( Jalil )
3. Syahidin Penghulu H. Rasyid.

Sangat diharapkan bantuan agar kepala2 beliau dapat dibawa kembali , agar dapat disatukan dengan jasad / dikuburkan secara layak!!!
Amin…

*Ph.D – Historical di Malaysia Thesis tentang Pangeran Hidayatullah & penelitian beberapa bulan sampai ke negeri Belanda.

Di Tanah Jawa Panting Berdenting

Oleh: Nasrullah (Yogyakarta)

Grand Pasifik Yogyakarta

Ampar-ampar pisang

Pisang ku balum masak

Masak sabigi dihurung bari-bari

Sekelompok orang berjejer rapi dihadapan hadirin. Mereka adalah paduan suara dari suku Hakka Cina, tapi ketika bernyanyi bukannya lagu berbahasa Cina dilantunkan melainkan membawakan lagu Banjar Ampar-ampar pisang dengan penuh riang dan diiringi musik organ tunggal. Sementara di sebelah kanan kelompok paduan suara itu duduk berjejer sebuah grup musik panting yang siap beraksi. Setelah paduan suara menyanyikan lagu Ampar-ampar pisang hingga selesai, langsung dilanjutkan musik tradisional grup musik panting yang juga membawakan lagu Ampar-ampar Pisang diiringi para penari latar.

Belum tuntas lagu dinyanyikan, paduan suara pun menyambung lagu itu diiringi musik panting dalam tempo lambat. Setelah selesai paduan suara bernyanyi, instrumen musik panting terus berlanjut dengan tempo lebih cepat tanpa iringan lagu. Begitu selesai musik panting, kembali paduan suara menyanyikan nang mana batis kutung dikitip bidawang.

Pagelaran itu adalah momen yang sulit terlupakan oleh Firliadi Noor Salim, salah seorang pemain musik panting grup Dendang Banua dari Kerukunan Mahasiswa Hulu Sungai Selatan di Yogyakarta. Waktu itu, 25 Mei 2009 mereka berkolaborasi dengan paduan suara suku Hakka untuk memeriahkan pembukan acara perkumpulan suku Hakka se Yogyakarta di gedung pertemuan Grand Pasifik.

Sebagai pemain musik panting, Salim panggilan sehari-hari Firliadi Noor Salim yang tengah menuntut ilmu di Sastra Arab, UIN Sunan Kalijaga, merasa sangat bangga karena grup musik mereka mendapat kehormatan dalam acara orang Cina Hakka. Grup musik panting Dendang Banua adalah satu-satunya grup musik tradisional yang didaulat untuk memeriahkan acara pembukaan pertemuan suku Hakka di Yogyakarta.

Penampilan Dendang Banua di acara pertemuan suku Hakka, menurut Wira salah seorang personel Dendang Banua, pada mulanya hanya sekedar coba-coba dari panitia pelaksana. Kebiasaan mereka mengundang salah satu grup musik tradisional untuk mengisi acara hiburan, tahun 2009 Dendang Banua mendapat giliran.

Rupanya penampilan grup musik panting Dendang Banua mendapat penilaian positif dari para undangan yang hadir, tepuk tangan membahana di dalam gedung Grand Pasifik Yogyakarta. Setelah tampil perdana secara mengesankan itu, mereka pun mendapat undangan kembali untuk mengisi acara pembukaan kejuaraan Nasional Wushu Yunior Taulo Open 2009 di GOR Universitas Negeri Yogyakarta. “Di sana kami kembali tampil dan berkolaborasi dengan penari Cina,” ujar Salim.

Mantan ketua KM HSS ini pun sangat berbangga hati, karena hadir Sultan Yogya dalam acara pembukaan kejurnas Wushu tersebut. Kebetulan ada kontingen Wushu dari Kalimantan Selatan, salah seorang panitia kontingen tersebut langsung menemui mereka setelah tampil dan menanyakan apakah Dendang Banua sebagai utusan DKD Kalsel sehingga tampil dalam acara pembukaan kejurnas Wushu. Mereka pun menjelaskan bahwa tampil sendiri karena undangan panitia.

Opening Kejurnas Wushu
***

Grup musik panting Dendang Banua yang beralamat di asrama mahasiswa Kabupaten HSS “Amuk Hantarukung” di jalan Mangga 3 Blok D No 37 RT. 2 RW. 8 Klebengan, Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, lahir bertepatan dengan hari jadi kabupaten HSS tanggal 2 Desember 2001. Pada waktu itu asrama mahasiswa HSS dan sekretariat Dendang Banua beralamat di Jalan Mawar dan masih berstatus kontrakan.

Cerita Salim yang juga mantan ketua asrama “Amuk Hantarukung” 2007 yang ditemu URBANA di Yogyakarta, Kamis (27/08) bahwa seniornya mendapat bantuan pemda HSS untuk mendirikan grup musik panting Dendang Banua. Sayangnya bantuan tersebut tidak mencukupi untuk membeli alat musik, sehingga untuk menutupi biaya mahasiswa mencari uang dengan cara mengamen dengan menggunakan alat musik biola di sekitar kampus UGM hingga akhirnya dapat menutupi kekurangan biaya.

Selain berhasil mendapatkan uang untuk mencukupi kekurangan biaya membeli peralatan, rupanya kemampuan mahasiswa memainkan biola juga digemari kelompok pengamen lain yang beroperasi di sekitar UGM sehingga banyak pengamen berminat belajar bermain biola.

Generasi pertama pemain Dendang Banua adalah Lupi Anderiani, Alfriend, Obeb, Riswan, Faturrahman, “Jeng” Sri, Riza, Anoy, Inai, Ilmi dan Alfi. Secara perlahan-lahan para pemain tidak lagi aktif di Dendang Banua karena telah menyelesaikan studi. Sepeninggal Lupi Anderiani, Dendang Banua kekurangan pemain biola. Kini personel Dendang Banua diisi oleh Firliadi Nur Salim, Indra Bandi, Atma Prawira dan Mus’ab yang memainkan alat musik panting. Memainkan alat musik kataprak oleh Abdurrahman al-Gunain, Aditya Aris Pratama, Muzaiyyin Mistar, Muhammad Arif. Adapun memegang alat musik Babun oleh Udin Khair dan gong oleh Hafiz. Vocal oleh Debby Miranti dan Hasani Memed.

Latihan rutin dilaksanakan setiap dua kali seminggu di asrama mahasiswa HSS, “Amuk Hantarukung” Yogyakarta pada hari Jumat dan Minggu. Pada saat latihan, mereka pernah ditonton oleh turis Rusia. Setelah menyaksikan tampilan musik panting Dendang Banua, turis Rusia yang semula tidak ingin pergi ke Kalimantan menjadi tertarik untuk melihat secara langsung kesenian di Kalimantan Selatan.

Dendang Banua yang dimanajeri oleh Amat Sufian setelah eksis beberapa tahun akhirnya mendapat bantuan dari pemprov Kalsel awal tahun 2009 untuk memperbaiki alat. Namun, bantuan tersebut masih belum mencukupi terutama untuk mengganti kostum pemain karena selama sembilan tahun eksis masih menggunakan pakaian yang sama. Padahal untuk saat ini menurut Atma Prawira mahasiswa Banjarbaru yang orang tuanya berasal dari Kandangan, Dendang Banua adalah satu-satu grup kesenian dari Kalimantan Selatan yang masih eksis di Yogyakarta bahkan se Jawa dan Bali.

Untuk lebih mempromosikan Dendang Banua, dibuka alamat di dunia maya yang berisi tentang dokumentasi kegiatan berupa gambar dan video di face book yang beralamat Grup Musik Panting “DENDANG BANUA” KM HSS Yogyakarta. Hingga saat ini Dendang Banua memiliki 1.780 penggemar di dunia maya.

***

Kota Yogyakarta selain dikenal dengan julukan kota Pelajar juga sebagai kota seni dan budaya yang memungkinkan segenap unsur kesenian tumbuh dan berkembang. Dendang Banua menjadi satu-satunya grup musik tradisional yang membawa nama Kalsel di Nusantara melalui kota Yogyakarta.

Selama tahun 2009, Dendang Banua sudah tampil selama beberapa kali, salah satunya dalam acara tahunan Gelar Apresiasi Seni Antar Etnis 2009, di halaman Monumen Serangan Umum Satu Maret pada 29 Juli 2009.

Pentas Di Apresiasi Seni Antar Etnis, Yogyakarta 29 Juli 2009

Selain tampil dalam acara yang bersifat nasional, Dendang Banua juga kerap diundang dalam acara mahasiswa daerah. Salim bercerita bahwa Dendang Banua pernah diundang bersama grup musik dari Aceh dalam acara peresmian asrama Todilaling, Sulawesi Barat tahun 2008. Ini menunjukkan musik daerah Kalimantan Selatan sebenarnya mendapat tempat di kalangan penggemar musik tradisional dari daerah lain.

Setiap tahun sejumlah agenda pertunjukkan musik tradisional sudah menunggu grup musik panting Dendang Banua. Misalnya di lokasi yang sering tampil yakni halaman monumen Serangan Umum Satu Maret, Dendang Banua sering diundang untuk mengisi acara ulang tahun kota Yogyakarta, Festival Kesenian Yogyakarta , Hari Sumpah Pemuda, Gelar Apresiasi Seni Antar Etnis. Di Jogja Expo Centre (JEC), Dendang Banua juga tampil untuk memeriahkan Yogya Fair dan Ramadhan Fair. Adapun acara bersifat kedaerahan biasanya setiap Syawal yakni Halal bi halal warga Banjar di Yogya.

Untuk agenda ke depan Dendang Banua bersiap-siap untuk memeriahkan empat acara, yakni: Ramadhan Fair, 2 September 2009 di JEC, kemudian tampil dalam pembukaan acara pertemuan Suku Hakka se-Indonesia pada bulan November di Yogyakarta. Adapun acara bersifat kedaerahan memeriahkan ulang tahun Persatuan Mahasiswa Kalimantan Selatan (PMKS) bulan November dan halal bi halal warga Kalsel di Yogyakarta, sekaligus peresmian renovasi asrama Lambung Mangkurat.

***

Setiap tampil di hadapan publik bagi Salim dan Wira serta teman-temannya yang lain, selalu tersimpan rasa bangga karena membawa nama daerah di kota Yogyakarta pusat kebudayaan Jawa. Apresiasi para penonton yang hadir dapat mereka rasakan dari applause penonton setelah tampil, apalagi disaksikan oleh para penonton dari berbagai daerah serta turis dari mancanegara.

Atas jerih payah penampilan mereka, pihak panitia yang mengundang memberikan imbalan yang beragam. Dari ratusan ribu dan kalau lagi mujur pernah mendapat bayaran hampir Rp 2 juta selama 15 menit pertunjukkan. “Tapi imbalan terima kasih haja gin, kami tarima haja,” terang Salim. Dalam acara tertentu, mereka pun lebih mementingkan tampil daripada memikirkan imbalan apalagi kalau nilai promosinya besar melalui event nasional.

Meskipun keberadaan Dendang Banua sebagai satu-satunya grup musik tradisional dari Kalimantan Selatan di Yogyakarta hingga se-Jawa Bali yang terus eksis dengan semangat para mahasiswa daerah untuk membawa nama baik Kalsel secara nasional dan internasional. Namun, para personel Dendang Banua mengakui khawatir akan kelangsungan grup ini di masa mendatang. Menurut Salim, mantan ketua Asrama “Amuk Hantarukung” yang berasal dari Sungai Paring, Kandangan, saat ini sulit melakukan regenerasi pemain musik terutama yang menguasai alat musik babun. Tidak ada peremajaan alat dan kostum karena itu mereka berharap kepedulian pemerintah daerah. Selain itu, tidak ada pembina musik panting sepeninggal senior mereka, Lupi. Sehingga para pemain belajar secara autodidak, praktis berdampak pada terbatasnya referensi penguasaan lagu-lagu daerah.

Bahkan lebih tragis jika hal-hal tersebut tidak dapat diatasi, maka beberapa tahun kemudian suara musik panting dari Kalimantan Selatan di tanah Jawa perlahan-lahan akan berhenti berdenting.

Dendang Banua & Kayuh Baimbai Yogyakarta

Dimuat di Tabloid Urbana, edisi 31 Agustus – 07 September 2009

Versi epaper dapat dilihat di www.tabloidurbana.com

Ditulis ulang oleh : Wira.

Pameran Seni Visual Johan Marais-Piper a.k.a Jomapi ‘Mimpi-mimpi yang Memanjakan Diri’

7 – 23 Agustus 2009

Pameran tunggal Johan Marais-Piper a.k.a Jomapi ini akan dibuka pada Jumat, 7 Agustus di Jogja Gallery, dan akan berlangsung hingga 23 Agustus 2009.

Jomapi merupakan akronim dari nama Johan Marais-Piper, lahir 1982 di Sydney , Australia . Johan sekarang tinggal dan bekerja di Sydney , Australia tetapi dia dibesarkan dalam keluarga Indonesia-Australia dan sempat tinggal sepuluh tahun di Indonesia mulai tahun 1983. Pada masa kanak-kanaknya di Jakarta dia asyik menggambar sketsa dengan crayon dan kertas dan bermain dengan teman-teman seRT. Pada tahun 1992 dia kembali ke Australia bersama keluarganya, meninggalkan budaya dan teman-teman yang dikenal dan dicintainya itu untuk mencari teman-teman baru dan menyesuaikan diri dengan budaya yang berbeda. Setelah dewasa dia mengikuti pendidikan lanjutan di College of Fine Arts (Institut Seni Rupa) University of New South Wales . Dia meraih gelar Bachelor of Fine Arts in Time Based Art, yaitu program gelar yang mendalami nilai-nilai kesenian di bidang video dan multimedia.

Kegandrungan Johan akan keindahan dan beraneka seluk beluk rumit dari seni video sama kuatnya dengan kegemarannya akan kesegaraan dan simbolisme statis dari seni ilustrasi. Dia bekerja sebagai perancang grafis dan ilustrator selama tiga tahun terakhir ini. Karya seni video dan ilustrasi ciptaan Johan telah diikutsertakan dalam berbagai pameran sejak tahun 2000 dan kini dia menyajikan karya ilustrasi dan videonya dalam pameran ini, yaitu pameran tunggal pertamanya, ‘Mimpi-mimpi Yang Memanjakan Diri’ di Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia, 7-23 Agustus 2009.

Menurut Johan impian itu merangsang sebagai perpaduan antara yang surealis dan penyangkalan tanggung jawab, namun tidak boleh disepelekan. Impian mampu memanjakan serta mengganggu kehidupan sehari-hari kita – saat mimpi kita membuka diri terhadap kemungkinan mimpi buruk. Impian dianggap sebagai serangkaian imej, ide dan emosi yang mengunjungi pikiran kita pada tahap-tahap tidur tertentu. Sigmund Freud memandang mimpi sebagai ungkapan ketakutan dan keinginan paling dalam dari si pemimpi. Ada juga teori lucid dreaming yaitu mimpi sadar yang mempertanyakan keberadaan dalam ‘dunia yang nyata’. Kandungan sejarah dan filsafat yang sarat tersembunyi di dalam istilah ‘mimpi’ sangat menarik bagi Johan.

Pameran ini terdiri dari serangkaian ilustrasi digital dan karya video yang menggambarkan berbagai impian dan kemanjaan diri yang samar. Ini suatu eksplorasi kekuatan jiwa manusia dan caranya menangani persepsi-persepsi realitas. Apakah kita sedang mengalah pada suatu gaya hidup yang manja ataukah realitas yang kita pandang ini hanya sekedar suatu mimpi yang luar biasa terang. Ungkapan-ungkapan ini berasal baik dari pengalaman pribadi maupun dari pengamatan sifat-sifat buruk yang ada dalam kehidupan sehari-hari di Australia maupun Indonesia .

Kata Johan karya-karya saya ini terasa sebagai hasil upaya pikiran bawah sadar saya berbicara dengan saya. Kini saya sajikan kepada Anda apa yang saya temukan tersembunyi di sudut pikiran saya. Silakan nikmati karya saya dan semoga Anda terbawa oleh impian Anda sendiri.

Agenda Seni & Budaya Di Yogyakarta (edisi Juli s/d Agustus 2009)

16 – 18 Juli 2009
14th Yogyakarta Gamelan Festival 2009

awier

Gamelan saat ini gamelan telah merambah di 33 negara/wilayah: Argentina, Australia, Austria, Belgium, Canada, China, Columbia, Cezch, Finland, France, Germany, Ireland, Israel, Italy, Japan, Korea, Malaysia, Mexico, Netherlands, New Zealand, Palestine, Philippines, Poland, Russia, Singapore, Spain, Suriname, Swiss, Taiwan, Thailand, UK/Inggris, USA dan Indonesia

________________________________________________________________________________________________________________

12 Juli 2009 – 5 Agustus 2009
Pameran Komik ‘The Trails of the Midnight.Bunny’

Pameran oleh Ariela Kristantina ini akan dibuka pada Minggu, 12 Juli 2009 pukul 19.30 WIB di Ruang Pamer KKF, dan akan berlangsung hingga 5 Agustus 2009.

Seperti halnya realis adalah salah satu genre dalam seni lukis, manga juga merupakan salah satu aliran dalam komik. Beriringan dengan itu, dan karena tidak ada yang menyebutkan ‘pameran realis’; maka ini adalah pameran komik, bukan pameran manga. Pameran ini bukannya memamerkan banyak komik; tetapi keseluruhan isi pameran ini adalah sebuah komik.

________________________________________________________________________________________________________________

30 Juni 2009 – 14 Juli 2009
Pameran Seni Rupa ‘2×3’ di Kersan Art Studio

Kersan Art Studio akan menggelar pameran seni rupa ‘2×3’ yang dibuka pada Selasa, 30 Juni 2009 pukul 19.30 WIB di Kersan Art Studio, Dusun II Kersan No 154, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul Yogyakarta.

Pameran bersama oleh Budi Kurniawan, Raprika Angga, Rosit Mulyadi, Nue Prastowo, Cosmas A. K, Harun, dan M. A Kurniawan ini akan dibuka oleh Nana Tedja, dan akan berlangsung hingga 14 Juli mendatang.

Pameran ‘2×3’ ini mengangkat tersebut untuk menyimbolkan sebuah ruangan kamar yang meruakan suatu tempat tertutup dengan langi-langit di suatu rumah atau bangunan lain. Suatu ruangan dapat memiliki sejumlah pintu dan jendela yang mengatur cahaya, aliran udara, dan akses ke ruangan tersebut.

Dalam berbagai hal, ruangan 2×3 tersebut merupakan ruang pribadi (hati, pikiran) melakukan proses pengendapan terhadapa setiap persoalan atau suatu konflik dunia luar (eksternal) dan dunia dalam (internal) yang seringkali menteror mental maupun pikiran seniman.

Komikusnya adalah Ariela Kristantina; yang lebih dikenal dengan nama pena Rie, dalam ranah komik Indonesia. Rie, dan beberapa orang temannya yang tergabung dalam kelompok 7 Blue Artland, mempunyai sebuah majalah komik 4 bulanan bernama Splash. Majalah yang dengan mudahnya bisa Anda temukan di toko buku (seperti Gramedia) ini mereka terbitkan dan distribusikan secara mandiri. Kesukaan akan komik, dan pilihan gaya manga, ditekuni Rie semenjak SMA.

________________________________________________________________________________________________________________

5 – 12 Juli 2009
Pameran Tunggal Bayu Widodo ‘Memories on Print’

Bayu Widodo akan menggelar pameran pada 5 – 12 Juli 2009 di Roommate Visual Art Curatorial Lab. Jl. Suryodiningratan 37 B, Yogyakarta. Pameran ini merupakan hasil residensi di Studio Megalo, Canberra, Australia.

Pameran ini nanti akan diisi dengan workshop sablon, dan tatto pada Kamis, 9 Juli 2009 pukul 10.00 – 17.00 WIB dan artist talk (pengalaman proses residensi) di Studio Megalo, Canberra, Australia pada Jumat, 10 Juli 2009 pukul 15.00 WIB.

________________________________________________________________________________________________________________

4 – 31 Juli 2009
Pameran Seni Rupa ‘Still Crazy After All These Years’ oleh Agus Suwage

Pameran tunggal Agus Suwage ini akan dibuka pada Sabtu, 4 Juli 2008 pukul 19.30 WIB, dan akan berlangsung hingga 31 Juli 2009 mendatang di Gedung Utama Jogja National Museum (JNM) lantai 1-3.

Pameran berjudul ‘Still Crazy After All These Years’ merupakan pameran yang menghadirkan karya terpilih Agus Suwage sejak 1985-2009 yang berjumlah sekitar 99 karya yang terdiri dari drawing, lukisan, instalasi dll.

________________________________________________________________________________________________________________

3 – 30 Juli 2009
Pameran Empat Perupa Filipina ‘Sa Langit Mong Bughaw (Di Bawah Langit Birumu)

Pameran oleh empat perupa Filipina yakni Ambie Abano, Christina Quisumbing Ramilo, Pardo de Leon dan Popo San Pascual ini akan dibuka pada Jumat, 3 Juli 2009 pukul 19.30 WIB di Tembi Contemporary.

Pameran yang akan berlangsung hingga 30 Juli 2009 ini akan dibuka oleh Rektor ISI Yogyakarta Soeprapto Soedjono, dan rencananya akan dihadiri oleh Duta Besar Austria, Duta Besar Australia, Duta Besar Canada, dan Duta Besar Mexico.

About Head Hunting

dayak wariorOfficially, headhunting doesn’t exist in Borneo, though isolated jungle beheadings are still reported. In former times, men would awaken the spirit of courage, Bali Akang, to assist them during headhunting expeditions. After decapitating the enemy, great homecoming celebrations awaited returning warriors. The brains were carefully extracted through the nostrils, then fresh ulu (heads) were placed in plaited rattan nets and smoke-cured over fires.

Dried skulls provided the most powerful magic in the world, vital transfusions of energy. A good head could save a village from plague, produce rain, ward off evil spirits, or triple rice yields. Dayak people believed a man’s spirit continued to inhabit his head after death. Surrounded by palm leaves, heads were offered food and cigarettes—already lit for smoking—so their spirits would forgive, forget, and feel welcome in their new home. New heads increased the prestige of the owner and impressed sweethearts; they were an initiation into manhood.
In some tribes, a head’s powers increased over time; cherished skulls were handed down from generation to generation. In other tribes, a head’s magic faded with age, so fresh heads were always needed. Villages without ulu were spiritually weak—easy prey for enemies and pestilence. In remote villages of Kalimantan, travelers still come across skulls—usually not fresh ones.

Bidayuh Dayak Warriors
Bidayuh Dayak Warriors

Extract from : The Splendid Isolation of Borneo’s Dayak Tribes by Bill Dalton, founder of Moon Publications and the author of Moon’s Indonesia Handbook

IA PERGI UNTUK MEMENUHI JANJINYA

Pengantar :
Sepekan ini, entah mengapa, saya selalu dibayangi tentang kematian (semoga ini bukan firasat!). Boleh jadi karena saya memang sudah mulai tua, letih, dan berdebu, atau mungkin tersebab sepekan yang lalu saya membongkar puluhan lukisan karya almarhum Drs. Ifansyah, M.Sn ( seorang maestro pelukis realis) yang dititiipkan pada saya. Pelukis perfeksionis lulusan ISI Yogya ini meninggal di Yogyakarta pada 10 Januari 2004 (3 hari menjelang kami membuka pameran lukisannya) dalam usia 46 tahun. Alhamdulillah saya dapat mengantarnya hingga ke liang lahat, di tanah kelahirannya, Barabai, Kalimantan Selatan. Tulisan dibawah ini adalah kata pengantar saya pada buku memoar dalam “Pameran Lukisan Mengenang 1 Tahun M.Ifansyah”, di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Januari 2005.

IA PERGI UNTUK MEMENUHI JANJINYA

Oleh: Mahyudin Al Mudra

Nyamperin matahari
Dari satu sisi
Memandang insan
Dari segenap jurusan

Puisi di atas adalah karya W.S. Rendra yang khusus dibuat untuk saya, saat ia berkunjung ke kantor saya beberapa saat yang lalu. Mas Willy agak terkejut ketika saya meminta untuk menuliskannya bukan di atas kertas, melainkan di atas kain kafan milik saya. Semula ia mengira kain putih tersebut adalah kain kanvas. Tetapi ketika saya menyodorkan lembaran kain putih panjang tersebut, dan menyadari bahwa kain tersebut adalah kain kafan, dengan dahi berkerut dia berpikir sejenak, lalu mulai menulis dengan khusuk.

Kain kafan? Ya, pembungkus jenazah itu mulai saya persiapkan sepulang dari mengantar jenazah almarhum M. Ifansyah yang dimakamkan di Barabai, Kalimantan Selatan, tanah kelahirannya, pada tanggal 11 Januari 2004. Saya memang agak terpukul dengan kepergiannya yang begitu tiba-tiba, tanpa tanda dan firasat apa pun. Kematian Ifansyah, Pak Wid NS., serta seorang perupa lain, sahabat-sahabat saya, justru di saat mereka sedang mempersiapkan pameran bersama saya, bagi saya adalah “silabus” yang sangat gamblang tentang kematian yang adanya begitu niscaya, sesuai janji dengan Al Khalik, Sang Pengatur, namun yang tidak pernah kita ketahui pabila datangnya. Kematian adalah pemenuhan janji kepada Sang Pencipta, sebagai konsekuensi dari kehidupan yang telah diberikan.

Meskipun pergaulan saya dengan almarhum belum begitu lama sebagaimana sahabat almarhum lainnya, namun diskusi-diskusi kami beberapa bulan terakhir sangatlah intens. Bersama Drs. Sujatmiko, seorang sahabatnya yang juga perupa, kami mempersiapkan berbagai hal tentang pameran lukisan, tentang rencana bersama untuk menyusun Kamus Bahasa Banjar-Indonesia, bahkan juga rencana menerbitkan Buku Panduan Melukis yang diajarkan kepada siswa sejak Sekolah Dasar, serta mengumpulkan lagu-lagu daerah. Kami juga merencanakan untuk menyusun dan menerbitkan direktori yang memuat (terutama) para perupa pemula yang belum memperoleh kesempatan liputan media, agar lebih dikenal publik.

Ifansyah juga berjanji untuk mendirikan Padepokan Seni Lukis, yang mengajarkan bagaimana memahami dan membuat sebuah lukisan yang mempunyai karakter kuat, tanpa harus menjadi dan berkiblat kepada perupa lain. Kepada saya ia juga berjanji akan membuatkan sebuah lukisan realis Pasar Terapung di Banjarmasin. “Hadangi haja, kaina kuulahakan lukisan nang harat,” ujarnya suatu ketika. Kepada saya yang “fakir seni” ini, yang selalu hanya mendapat ponten enam untuk pelajaran menggambar di sekolah, ia juga berjanji –kalau ada waktu– akan mengajarkan bagaimana melukis dengan benar. “Bakat itu memang penting,” katanya saat itu, “tapi lebih penting lagi ketekunan berlatih terus-menerus”. Entah benar entah tidak cerita tentang para maestro dunia yang semula tidak berbakat melukis itu, tapi saya haqqul yakin itu semua hanya untuk menghibur saya yang hanya bisa menggambar pemandangan dengan pepohonan di bagian atas bidang, sawah di bagian tengah serta jalan di bagian bawah, dengan menarik garis maya silang dari setiap sudutnya. Meskipun demikian, saya cukup terhibur dengan janjinya. Jika tidak bisa melukis pun, paling tidak saya bisa ‘membaca’ dan membedakan mana lukisan realis dan mana lukisan impresionis; tahu apa yang disebut aliran abstrak ataupun kubisme. Paling tidak, saya akan mendengar nama Rembrandt, Monet, atau Renoir. Juga, A. Sadali, Tulus Warsito, Mozes Misdy, atau Basuki Abdullah. Pasti kelak saya akan tahu bahwa Syaiful Adnan bukanlah pengusaha rumah makan Padang, meskipun ‘tulisannya’ ada di banyak rumah makan Padang dalam bentuk logo atau lainnya, melainkan seorang kaligrafer besar yang banyak dibicarakan khalayak karena aliran “syaifulli”-nya.

Ternyata Ifansyah tidak pernah memenuhi janjinya. Ia juga tidak menepati janji untuk bersama saya memotret para pedagang di Pasar Terapung Banjarmasin. Padahal saya sudah belajar dasar-dasar fotografi. Padahal pemotretan itu sangat diperlukan, karena saya ingin mengganti sayur yang dijajakan pedagang di atas sampan itu dengan tumpukan buku-buku. Ya, betul…! berjualan buku di atas jukung di Sungai Barito! Bukankah itu sebuah lukisan yang harat (hebat), penuh kejutan, dan sarat message? Bahkan Ifansyah juga tidak memenuhi janjinya untuk rapat di rumah saya pada hari Minggu malam, 11 Januari 2004. Padahal pertemuan itu begitu penting, justru untuk membahas secara detil pameran lukisannya agar bisa dilaksanakan dengan baik, mengingat almarhum jarang menggelar pameran sebagaimana perupa lainnya (menurut para sahabatnya, lukisan Ifansyah langsung terjual begitu selesai, bahkan sudah dibeli sebelum dibuat). Ia pergi begitu saja pada hari Sabtu siang tanggal 10 Januari 2004, dalam kesunyian dan kesendiriannya, tanpa pesan apa-apa, tanpa tanda apa-apa. Atau –lebih tepatnya– mata hati saya yang tidak bisa membaca “pesan” dan “tanda” yang disampaikannya saat itu?

Kini Ifansyah telah pergi meninggalkan dunia yang ingar-bingar, menemui Khaliknya yang selama ini dirindukannya. Hilang sudah tabir yang membatasi dialognya dengan Allah Azza wa Jalla. Ifansyah yang begitu lembut dalam kesehariannya, kini menghadap Yang Mahalembut (Ya Lathiifu). Ifansyah yang selama ini dikenal sabar, kini hidup tenang di samping Yang Mahasabar (Ya Shabuur). Ifansyah yang suka memaafkan, kini hidup damai dalam rengkuhan Yang Maha Pemaaf (Ya Haliim). Ia yang setiap saat tak pernah berhenti berkarya dan mencipta, sekarang berada dalam dan bersama Yang Maha Pencipta (Ya Badiiu). Alangkah indahnya melukis bersama Yang Maha Indah (Ya Jamiil) dan Maha Pelukis (Ya Mushowwiru). Subhannallah… alangkah hangat dan indahnya kematian! Keindahan yang tak terpemanai.

Banyak janjinya yang belum ia tunaikan kepada saya. Mungkin juga kepada para kolektor dan “konsumen” lain. Ia lebih memilih menghadap Sang Pencipta untuk memenuhi janji ruhnya saat melakukan “kontrak kehidupan” dengan Yang Maha Menghidupi (Ya Muhyi) ketika ia masih berupa ‘mudghoh’ di dalam kandungan ibunya.

Sekarang saya gagal memiliki lukisan Ifansyah yang sudah saya idamkan selama lebih dari 20 tahun sejak saya masih kuliah. Saya harus puas cukup dengan mengoleksi dua buah gambar lukisan almarhum yang saya “repro” dari sobekan kalender sebuah bank negara yang tahu menghargai karya agung seorang seniman akbar. Mengertilah saya sekarang, janji almarhum yang akan membuatkan lukisan harat “KALAU ADA WAKTU” itu, sebenarnya adalah tanda, isyarat, iktibar, pelajaran penting kepada saya, bahwa sebenarnya kita “tidak punya waktu” atau lebih tepatnya, tidak punya cukup waktu dalam kehidupan ini. Kita bukanlah pemilik waktu. Sesungguhnya hidup kita ini bukanlah arrival, melainkan departure untuk menuju destination yang hakiki menuju Yang Mahakekal (Ya Baaqi) untuk menjalani kehidupan lain yang lebih abadi.

Ifansyah telah pergi. Tidak akan ada Pasar Terapung yang menjajakan buku di Kuin, Banjarmasin. Tidak ada padepokan seni yang menjadi mimpi kami bersama, karena padepokan itu telah kami bangun di dalam hati kami. Ia tidak jadi mengajar saya melukis di atas kanvas. Tetapi dengan “pesan” dan “tanda” yang ditinggalkannya, Ifansyah memberikan pelajaran pada saya tentang “lukisan kehidupan”. Hidup ini, sebagaimana sebuah lukisan, bukanlah sebuah kanvas putih yang bersih tanpa coretan. Kanvas itu baru bernilai dan bermakna, (dan disebut lukisan!) ketika ia “dikotori” dengan berbagai sapuan, coretan, cipratan, bahkan tumpahan cat aneka warna, dengan proporsi dan komposisi yang terkadang sulit dipahami. Tidak lagi menjadi terlalu penting, apa pun aliran (mazhab) perupanya. Melukis adalah kehidupan itu sendiri. Menjalani kehidupan, sebagaimana aktivitas melukis, adalah “mewarnai dan memenuhi” kanvas dunia, sehingga semua aktivitas itu menjadi rahmatan lil alamiin, hamemayu hayuning bawana, enlightenment, aufklaruung, sebuah pencerahan bagi alam dan seisinya.

Selamat melukis, sahabat. Engkau memang tidak jadi mengajarku melukis. Kemarin kusangka engkau mengingkari janjimu. Maafkan aku, karena kemarin aku menilaimu hanya dari satu sisi. Padahal, seperti kata Mas Rendra, memandang insan, dari segenap jurusan.

(inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun)


(WS Rendra menuliskan puisi di kain kafanku yang telah kupersiapkan agar tidak merepotkan keluargaku… “Nyamperin Matahari Dari Satu Sisi…Memandang Insan Dari Segenap Jurusan…”)


(Lukisan alm Ifansyah (90×180 cm) dengan judul “Pasar Beringharjo” belum diwarnai dan ditandatangani.)

Lukisan almarhum M.Ifansyah yang sudah diwarnai, tapi belum selesai tuntas serta belum ditandatangani
(Lukisan almarhum M.Ifansyah yang sudah diwarnai, tapi belum selesai tuntas serta belum ditandatangani)